Subuh Sublim pada Savana Tenau Pulau Sumba

Subuh Sublim pada Savana Tenau Pulau Sumba

Jakarta – Bergegas bangun tidur jam empat subuh, kami sama-sama rombongan dari Jakarta, berangkat ke savana Bukit Tenau dari Hotel Kambaniru di dalam Waingapu, ibu kota Daerah Sumba Timur. Hawa pagi serasa sejuk, walau tidaklah sedingin Puncak Bogor atau Kaliurang Yogyakarta, atau Batu Jawa Timur. 

Sesekali, dari kejauhan, terdengar ayam jantan milik penduduk setempat berkokok. Ringkik kuda Sumba dari kandang di dalam pinggir tembok pagar penginapan, mengiringi keberangkatan kami menyongsong fajar.

“Mumpung di dalam Sumba, walaupun mengantuk kemudian lelah, kami ingin eksplorasi segala yang mana ada di dalam sini,” kata Heru Margianto, warga Bekasi, anggota rombongan kami.

Ia adalah satu dari setidaknya 20 orang yang pagi itu ingin menikmati Bukit Tenau sebagai bagian dari program pelesir Huawei Dunia Pers Camp 2023 di area Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Pertemuan ini berlangsung Jumat-Senin, 8-11 Desember 2023 lalu.

Kami melaju dengan mobil, menuju savana Bukit Tenau yang mana berjarak sekitar 15 kilometer dari Waingapu. Persisnya, bukit ini berada di tempat Kelurahan Mauliru, Kecamatan Kambera, Sumba Timur. 

Tersiar kabar, dan juga dari gambar-gambar yang berserak di area internet perihal cantiknya bukit ini. Itulah yang dimaksud terus merajuk kepala kami untuk mampu terlibat bergulat dengan keindahan lalu pesonanya. 

Cerita Hilarius Ferry Jahang, warga Kupang, yang tersebut juga bergabung rombongan kami bahwa produsen mobil mahal jika Italia, Ferrari, pernah bikin iklan di tempat Tenau, menambah semangat untuk pergi ke sana. “Itu ongkos produksinya pasti mahal, dan juga hasilnya bagus banget mas,” kata dia.

Sumba adalah satu dari sekian pulau dalam Kepulauan Sunda Kecil, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Posisinya ada di dalam selatan Pulau Flores yang dipisahkan oleh Selat Sumba. Sedangkan pada arah timur, ada Pulau Timor, tempat ibu kota provinsi, Kupang, serta negara tetangga Timor Leste.

Sumba miliki luas 11.153 kilometer persegi juga punya pegunungan setinggi 1.220 meter. Curah hujan tahunan sekitar 1.625 milimeter, sangat rendah yang tersebut mengakibatkan Sumba sedikit punya hutan hijau berpohon tinggi, juga lebih besar berbagai banyak padang rumput. 

Dibanding dengan tiga kabupaten lain di area Sumba: Sumba Tengah, Sumba Barat, kemudian Sumba Barat Daya, Sumba Timur punya savana paling luas dan juga musim yang lebih tinggi kering.

Setelah 1,5 jam melintasi jalan yang digunakan tak begitu lebar, serta berkelak-kelok di tempat sana-sini, Bukit Tenau pun terjangkau. Meski sempat tersesat jalan sejenak, itu tak menurunkan kegembiraan menjangkau kawasan dalam tenggara Waingapu itu.

Eksotisme padang rumput

Pagi itu masih temaram. Cahaya matahari semburat tipis manja. Dalam hati, sebagian dari kami bergumam, mengkonfirmasi kabar keelokan stepa ini. Tak sedikit yang mengekspresikannya lewat ucapan. “Wihh, indah banget,” kata mereka.

Mobil kami parkir di tempat pundak bukit yang membentuk dataran cembung yang mana bukan curam. Dari tempat ini, keindahan telah dilakukan menyergap. Orang-orang Ibukota kemudian sekitarnya di rombongan kami, menyebar ke sudut-sudut terbaik untuk mengambil foto. 

Suasana subuh pada sabana Bukit Tenau, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Mingguan 10 Desember 2023. Tempo/Sunudyantoro

Dari Bukit Tenau, kami memandang savana luas, mirip di film-film berlatar belakang Texas Amerika Serikat, atau Gurun Gobi Mongolia, atau padang gembalaan dalam Selandia Baru. Sepanjang mata memandang ke arah timur, selatan, juga utara terhampar lapangan rumput berkontur sedikit turun-naik. 

Jika tatapan mata terbuang ke arah barat daya, ada bukit menyatu dengan bukit, yang dimaksud di tempat tengahnya bercelah lembah. Di ujung sana, suasana permukiman Waingapu. Sebagian pada antaranya rumah berarsitektur tradisional dengan atap limas, tampak menghias sepanjang mata menuju horizon. 

Tak puas hanya saja sampai punggung bukit, sebagian dari kami bergerak ke puncak gunung kecil itu untuk menikmati sudut keindaan yang tersebut lain. Dengan sedikit berjalan kaki menanjak, tak beriringan, sebelas dari kami menggapai puncak tertinggi itu, sebidang tanah datar. Luasnya seukuran lapangan bola, dengan tepi jurang.

Sekelompok dari kami, mengambil foto dengan mengenakan kain panjang tenun Sumba. Sebagian yang mana lain, bergantian berfoto di dalam dekat bendera merah putih yang tersebut menancap pada tiang bambu pada tepi utara puncak Tenau. Entah siapa yang mana memasang bendera itu. Yang pasti, warnanya mulai memudar dan juga kainnya sedikit aus di tempat ujungnya.

Di sini, Heru Margianto mengundang Muhammad Nafi, anggota rombongan yang digunakan lain, lalu saya untuk sejumlah melakukan pencarian ‘angle’ lalu gaya menawan di pemotretan. Nafi, misalnya, minta ‘angle’ sunyi, mirip pengelana pada film-film tentang sosok petualang yang tersebut sedang duduk, istirahat, sembari memandang jarak jauh ke depan. “Bagus kan,” ujar warga Bintaro ini.

Bisa dibilang, pada setiap titik lokasi, pada banyak sudut pandang, serta aneka gaya, kami coba jepret untuk mendapatkan gambar. Ternyata, jawaban yang dimaksud muncul di area semua foto, yang ada di area memori ponsel kami semata-mata satu: savana Bukit Tenau Pulau Sumba sungguh elok, terlalu sublim.

Setelah lega bergulat dengan alam, dan juga matahari mulai hangat di tempat tubuh, kami pun kembali ke Waingapu. Selanjutnya, kami makan pagi demi mengganjal perut yang mana mulai lapar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *